Saya bersyukur selama kurun waktu tahun 1995 s/d 1998 sehari-hari bisa menelusuri sudut-sudut Kajen dan sekitarnya yang banyak dipenuhi bangunan pondok pesantren, rumah tahfidz hingga majelis thoriqoh.
Kawasan yang sejak dulu hingga sekarang tetap menjadi basis “perjumpaan” para santri/santriwati yang datang dari berbagai penjuru nusantara bahkan ada yang berasal dari mancanegara. Mereka ada yang kategori santri “kalong” (tidak menetap) maupun santri “muqim” (menetap).
Saat itu orientasi para santri/santriwati lebih menonjol pada aspek “ketawadluan” dalam hal “mencari” keberkahan dari ilmunya para kiai-kiai yang alim di bidang agama maupun “memburu” keberkahan dari makam para aulia.
Setidaknya ada dua makam keramat yang selalu ramai didatangi para peziarah saat siang maupun malam hari. Pertama makamnya KH. Ahmad Mutamakin yang terletak di Kajen dan kedua makamnya Syeikh Ronggo Kusumo yang berlokasi di Ngemplak Kidul. Sudah banyak buku dan karya hasil penelitian yang bisa dipelajari dari sosok keduanya yang cukup melegenda.
Di masa itu pulalah ada dua figur Kiai sepuh (tanpa bermaksud menafikan keberadaan Kiai lainnya) yang sangat dihormati dan disegani. Mereka adalah KH. Abdullah Salam Kajen yang terkenal dengan kealiman dan kefaqihannya serta KH. Zahwan Anwar yang “kesohor” dengan “mujarrobat” atau kejadugannya.
Jika menilik “keramat” dua makam aulia dengan dua figur Kiai sepuh tersebut, maka saya bisa “simpulkan” bahwa ada semacam “kemiripan” dari visi dan nilai-nilai perjuangan yang dilakukan, sekalipun dalam ruang-waktu dan dimensi yang berbeda.
Nah, dalam upaya “ngalap” (berharap) keberkahan itu, maka setiap tengah malam tepat jam 00.00 WIB saya beserta santri lainnya sering mengikuti tahlil dan doa yang dipimpin oleh KH. Abdullah Salam persis di pusara makamnya KH. Ahmad Mutamakin.
Di makam keramat inilah saya sering menjumpai tokoh-tokoh nasional seperti Alwi Shihab, almarhum Gus Dur dan Matori Abdul Jalil serta tokoh-tokoh lainya yang “nderekke” (mengikuti) tahlil dan doa bersama KH. Abdulllah Salam.
Dengan KH. Zahwan Anwar bahkan terasa lebih “dekat” lagi karena beliau adalah pengasuh utama pesantren yang saya tinggali. Disamping dididik dengan ngaji kitab kuning, saya bersama santri lainnya juga dibekali dengan berbagai ritual “gemblengan” dan “tirakatan” sebagai modal untuk melakukan “perjuangan”. Yang paling “masyhur” dari ijazah beliau adalah kitab “Jaljalut Shugro” dengan “paket komplit” lainnya.
Dari berbagai “laku spiritual” ala santri itu, saya “meyakini” bahwa sesungguhnya ilmu dan “kesuksesan” diperoleh bukan semata-mata karena ketekunan dalam belajar atau memiliki etos kerja yang tinggi, tetapi juga ada “atsar” atau “labet” nilai-nilai keberkahan dari teladan dan kealiman para Aulia dan Kiai yang tidak akan pernah lekang oleh jaman.
Sepeninggal KH Abdullah Salam, KH. Zahwan Anwar dan Kiai-Kiai sepuh lainnya seperti KH. Ahmad Fayumi Munji (Raudlatul Ulum) KH. Ma’mun (Alhikmah), KH. Ahmad Faqih (Salafiyah), kemudian estafet itu “beralih” ke generasi berikutnya seperti KH. M. A. Sahal Mahfudz, KH. Nafi’ Abdullah dan lainnya.
Dan saat ini kita harus kembali berduka, KH. Nafi Abdullah pengasuh Pesantren Matholiul Huda (PMH) Pusat, seorang Kiai alim dan mursyid thoriqoh yang bersahaja harus kembali menghadapNya saat sedang melaksanakan ibadah umrah. Beliau juga “guru” dari orang tuaku yang setiap seminggu sekali (pada hari Selasa) istiqomah mengikuti “tawajjuh/tawajuhan” (menghadapkan diri dan membulatkan hati kepada Allah) dalam majelis thoriqohnya.
Selamat jalan Kiai, mudah-mudahan kealiman dan kesahajaanmu terus melahirkan para penerusmu yang akan tetap menjadikan Kajen dan sekitarnya sebagai centrum dan kawah candradimukanya santri-generasi Islam Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah yang akan memberikan manfaat dan pencerahan bagi umat, masyarakat, bangsa dan negara. Alfatihah.
Semarang, 22 Februari 2017
Salam dari Turobul Aqdam
Oleh: Nur Shoib
Sumber: NU Jateng
0 komentar:
Post a Comment