![]() |
Sumber Ilustrasi: Shivas |
Kebahagiaan dan kesuksesan, dua hal inilah yang menjadi tujuan hidup setiap manusia. Faktor-faktor yang bisa menghantarkan meraih kedua hal tersebut ramai dicari dan diburu.
Dulu diyakini kecerdasan intelektual nerupakan kunci sukses. Namun, fakta ribuan sarjana menganggur dan banyaknya pimpinan bangsa yang berintelektual tinggi tapi bermoral rendah dengan maraknya bermacam praktik korupsi, membantah keyakinan ini.
Dulu diyakini kecerdasan intelektual nerupakan kunci sukses. Namun, fakta ribuan sarjana menganggur dan banyaknya pimpinan bangsa yang berintelektual tinggi tapi bermoral rendah dengan maraknya bermacam praktik korupsi, membantah keyakinan ini.
Selanjutnya, para pakar telah menemukan bentuk kecerdasan lain dalam diri manusia. Kecerdasan itu dikenal dengan kecerdasan emosional. Timbullah keyakinan bahwa yang menentukan kesuksesan seseorang adalah kecerdasan emosional ini.
Daniel goleman, seorang ahli dan peneliti tentang kecerdasan emosi, mengisahkan sebuah kisah menarik. Dalam sebuah penelitian, dikumpulkanlah anak-anak berusia 4 tahun di taman kanak-kanak Stanford. Mereka diminta satu persatu masuk kedalam sebuah ruangan dengan sepotong marshmallow yang di letakkan di atas meja di hadapan mereka.
"Kalian boleh memakan marshmallow jika mau. Tetapi kalau kalian memakannya setelah saya kembali lagi kesini kalian berhak mendapat sepotong lagi”.
Sekitar 14 tahun kemudian, sewaktu anak-anak itu lulus sekolah lanjutan atas, anak-anak yang dulu langsung memakan marshmallow dibandingkan dengan anak-anak yang mampu menahan diri (sehingga mendapat dua potong marshmallow) itu memiliki ketahanan mental yang jauh berbeda antara 1 dengan yang lain. Mereka yang tahan menunggu hingga mendapatkan potongan marshmallow tambahan cenderung lebih tahan menghadapi stress, tidak mudah tersinggung, dan tidak berkelahi. Tidak demikian dengan anak2 yang langsung melahapnya. Mereka memiliki kecenderungan kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita mereka.
Meski demikian, yang lebih mengejutkan para peneliti adalah munculnya efek yang betul-betul tak terduga. Anak-anak yang mampu menahan diri dalam ujian marshmallow, dibandingkan dengan yang tidak tahan, memperoleh nilai rata-rata 210 lebih tinggi (dari nilai tertinggi 1.600) dalam ujian masuk perguruan tinggi.
Ketika anak-anak dari taman kanak-kanak Standford itu tumbuh menjadi dewasa dan bekerja, perbedaan diantara mereka semakin mencolok.
Dipenghujung usia 20an, mereka yang lulus uji marshmallow ketika kanak-kanak tergolong anak yang cerdas, berminat tinggi dan lebih mampu berkonsentrasi. Mereka lebih mampu mengembangkan hubungan yang tulus dan akrab dengan orang lain, lebih handal, lebih bertanggung jawab dan kendali dirinya lebih baik saat menghadapi frustasi.
Sebaliknya, ia yang melahap marshmallow sewaktu berusia 40 tahun kemampuan kognitif mereka kurang, kecakapan emosinya jauh lebih rendah dibanding kelompok yang tahan uji. Mereka lebih sering kesepian, kurang dapat diandalkan, mudah dapat kehilangan konsentrasi dan tidak sabar menunda kepuasan dalam mengejar sasaran. Bila menghadapi stress mereka hampir tdak memiliki toleransi dan pengendalian diri. Mereka tidak luwes dalam menghadapi tekanan, bahkan sering mudah meledak dan hal tersebut menjadi kebiasaan mereka.
Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya melatih pengendalian diri. Sebagai bagian bentuk kecerdasan emosional secara umum yang diyakini sementara orang sebagai penentu kesuksesan dan kebahagiaan. Sebagaimana kita tahu puasa adalah arena melatih pengendalian diri yang sempurna. Dalam hal makan, yang menjadi kebutuhan penting bagii setiap orang, diberikan aturan yang cukup ketat, mulai pagi hingga sore hari. Dengan aturan yang begitu jelas, bisa dikatakan masyarakat muslim telah hidup dalam dunia yang penuh dengan aturan. Lebi-lebih ketika bulan Ramadhan. Dengan demikian, umat Islam telah melakukan pengendalian diri secara bersama-sama di bawah sebuah aturan yang mengatur .
Itu artinya, umat Islam telah berusaha mewujudkan terbentuknya kecerdasan emosional secara bersama-sama yang menjadi penentu kesuksesan dan kebahagiaan. ”Sungguh menakjubkan, apakah di dunia ini ada aturan dan aktivitas bersama (isytirakiyah amkaliyyah) yang menempatkan manusia dalam kondisi yang sama-sama lapar dan sama-sama kenyang, seperti puasa di bulan Ramadan?". Demikian kata Dr. Musthafa as Shiba’i.
Sumber: Forum KALIMASADA, Kearifan Syari'at, Surabaya: Khalista.
Sumber: Forum KALIMASADA, Kearifan Syari'at, Surabaya: Khalista.
0 komentar:
Post a Comment