Minggu (04/09), penulis dan temannya patut bersyukur. Hari
itu adalah hari yang mungkin tak terlupakan. Karena, pada hari itu, penulis dan
temannya diwisuda oleh Unipdu Jombang. Apalagi, pada wisuda tersebut, khususnya
Fakultas Teknik, adalah wisuda dengan jumlah wisudawan/wati terbanyak.
Setelah prosesi wisuda, penulis dan temannya mendapatkan
oleh-oleh 2 buku. Dari 2 buku tersebut yang paling menarik, menurut penulis,
adalah buku Fiqih Kontemporer karya Rektor Unipdu, Prof. Dr.
H. Ahmad Zahro, M.A..
Setelah sampai dipesantren yang ditempati penulis, penulis
tertarik untuk mengetahui isi dari buku tersebut. Penulis tidak membaca isi
keseluruhan. Namun, sekilas penulis sudah bisa menyimpulkan, produk hukum yang
dikeluarkan Beliau agak berbeda dengan santri salaf. Tentu, tidak semua hukum
yang Beliau keluarkan berbeda, hanya sebagian.
Disini, penulis tidak bermaksud mengomentari produk hukum
Beliau. Karena, penulis sangat mengakui, bahwa keilmuan Beliau jauh diatas
penulis. Tapi, penulis hanya mencoba menampilkan wajah hukum yang dihasilkan
dengan cara yang sudah mentradisi di pesantren salaf.
Dalam menanggapi permasalahan yang berkaitan dengan fiqih,
santri salaf selalu mengedepankan pencarian referensi karya ulama' terdahulu
yang terkenal dengan sebutan kitab kuning. Ulama' yang didahulukan adalah
ulama' yang bermadzhab Syafi'i. Bila kebutuhan memang sudah mendesak dan tidak
bisa ditawar, mereka baru mencari referensi dari ulama' diluar madzhab Syafi'i
tanpa meninggalkan syarat dan ketentuannya
Berhubung sekarang mendekati puasa Arafah, dengan
kelemahanya, penulis akan menampilkan hukum yang berkaitan dengan puasa Arafah
dulu. Nanti, bila Alloh menghendaki, tulisan yang sejenis ini akan berlanjut.
Tentu, hukum yang akan ditampilkan nanti bukan produk dari penulis, melainkan
dari kitab karya ulama' terdahulu.
Dalam buku Fiqih
Kontemporer karya Prof. Dr. H. Ahmad
Zahro, M.A. dijelaskan, bahwa puasa Sya'ban, Arafah dan lainnya tidak bisa
dibarengkan dengan puasa qodho'.[1]
Pendapat Beliau ini berbeda dengan pendapat Syeikh Nawawi al Bantani.
Ulama' yang berasal dari Banten dan mendapatkan julukan sayyid ulama' Hijaz
(pemimpin ulama' Hijaz, sekarang Madinah) ini berpendapat, puasa sunah dalam
niatnya tidak harus ada ta'yin
(penetuan), sedangkan tujuannya adalah adanya puasa dihari itu, bukan dzatiyah
puasanya (bentuk puasanya). Sehingga, puasa sunah seperti Arafah,
Senin, Kamis dan lain-lain bisa dibarengkan dengan puasa qodho' dan
semuanya hasil (berpahala). Juga, karena keduanya adalah satu jenis, [2]
Sebenarnya, Imam Nawawi (Damaskus, Syria), melalui karyanya
(al Majmu'), berpendapat yang sepaham dengan Bapak Rektor. Menurut Imam
Nawawi, puasa yang ditentukan waktunya (rowatib) tidak bisa dibarengkan
dengan puasa qodho'.
Karena, dalam niat puasa rowatib harus menta'yin (menentukan)
yang diniatkan. Sehingga, bila puasa rowatib, seperti Arofah, Asyuro'
dan lain-lain, digabungkan dengan puasa qodho', maka puasanya tidak
sah.[3] Tetapi, Syeikh Abu Bakr melalui I'anah at Tholibin
menerangkan, bahwa pendapat yang mu'tamad (yang dapat dipercaya dan
dijadikan pegangan banyak ulama') adalah pendapat yang boleh menggabungkan
puasa rowatib dan puasa qodho'. Karena dengan alasan yang telah
disebutkan diatas.[4]
Kalau melihat alasan para ulama' yang membolehkan
membarengkan puasa rowatib, bisa disimpulkan, bahwa alasan tersebut
hasil dari kaidah fiqih:
إذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُودُهُمَا
دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ غَالِبًا
(Bila dua perkara dari satu jenis berkumpul sedangkan tujuan
keduanya tidak berbeda, maka secara umum salah salah satu dari keduanya bisa
masuk pada satu yang lainya)
Mungkin, pendapat yang memperbolehkan inilah yang dianggap
Bapak Rektor sebagai "liberal". Tetapi, walaupun "liberal",
ulama' yang mengusung pendapat ini tetap mendasarkan pada kaedah pengambilan
hukum yang berlaku dikalangan ahli fikih.
والله اعلم بالصواب
[1] Ahmad Zahro, Fiqih Kontemporer, Buku
1 (Jombang: Unipdu Press, 2016), 282.
وَتَعْيِين) فِي الْفَرْض الْمَنوِي كرمضان
أَو نذر أَو قَضَاء أَو كَفَّارَة وَفِي نفل لَهُ سَبَب بِخِلَاف النَّفْل الْمُؤَقت
كَصَوْم الْإِثْنَيْنِ وعرفة وعاشوراء وَأَيَّام الْبيض وَسِتَّة من شَوَّال فَلَا
يشْتَرط فِيهِ التَّعْيِين لِأَن الصَّوْم فِي تِلْكَ الْأَيَّام منصرف إِلَيْهَا بل
لَو نوى بِهِ غَيرهَا حصلت أَيْضا كتحية الْمَسْجِد لِأَن الْمَقْصُود وجود صَوْم فِيهَا
وَيسْتَثْنى من وجوب التَّعْيِين مَا لَو كَانَ عَلَيْهِ قَضَاء رمضانين أَو صَوْم
نذر أَو كَفَّارَة من جِهَات مُخْتَلفَة فَنوى صَوْم غَد عَن قَضَاء رَمَضَان أَو صَوْم
نذر أَو كَفَّارَة جَازَ وَإِن لم يعين عَن قَضَاء أَيهمَا فِي قَضَاء رمضانين وَلَا
نَوعه فِي الْبَاقِي لِأَنَّهُ كُله جنس
[3] Abu
Bakr bin Muhammad Syata al-Dimyaty, I'anah al-Tholibin, Vol II (Beirut:
Dar al-Fikr, 2005), 252.
قوله: بنية مطلقة) متعلق بيصح، فيكفي في
نية صوم يوم عرفة مثلا أن يقول: نويت الصوم-.قوله: كما اعتمده
غير واحد) أي اعتمد صحة صوم النفل المؤقت بنية مطلقة .وفي الكردي ما نصه:
في الأسنى - ونحوه الخطيب الشربيني والجمال الرملي - الصوم في الأيام المتأكد صومها
منصرف إليها، بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ: زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه
لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا، نواه معه أو لا .وذكر غيره أن مثل
ذلك ما لو اتفق في يوم راتبان كعرفة يوم الخميس.
اه .وكلام التحفة كالمتردد
في ذلك.اه.
قوله: نعم بحث في المجموع الخ) هذا إنما
يتم له إن ثبت أن الصوم في الأيام المذكورة مقصود لذاتها. والمعتمد: ما يؤخذ من عبارة الكردي المارة
آنفا - أن القصد وجود صوم فيها
فهي كالتحية، فإن نوى التطوع أيضا حصلا، وإلا سقط
الطلب عنه، وبهذا فارق رواتب الصلوات.
قوله: كعرفة وما معها) أي وما يذكر معها عند تعداد
الرواتب - كعاشورا، وستة من شوال، والأيام البيض، الأيام السود -.قوله: فلا يحصل غيرها) أي من قضاء أو كفارة. وقوله: معها) أي الرواتب . وقوله: وإن نوى) أي غير الرواتب. قوله: بل مقتضى القياس) أي على رواتب الصلاة-. وقوله:
أن نيتهما) أي الرواتب وغيرها، كأن نوى صوم عرفة وقضاء أو كفارة-. وقوله:
مبطلة) أي لأن الراتب لا يندرج في غيره، فإذا جمعه مع غيره لم يصح، للتشريك بين مقصودين.
[4] I'anah al-Tholibin, hlm. 252.
0 komentar:
Post a Comment