Marilah kita
sekarang rujuk hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai amal kebaikan yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan
perintah Allah SWT. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulullah saw. menanggapi
masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup
jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak
pernah diamalkan, diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulullah saw. selama hal ini
tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah
boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama
dan mendapat pahala.
- Hadits dari
Abu Hurairah: “Rasulullah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh
: ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari
amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu
didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan
ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu)
siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan
Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai
hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga
sebagai hadits shohih ialah Rasulullah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak
pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat
wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi
karena Allah SWT. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh
pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan.
Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulullah saw.adalah hasil istinbath
(ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari
jilid 111/276).
- Hadits
lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab
shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat
menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits
tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan
waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulullah saw.
tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara
umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian
beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
- Hadits
riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah
bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulullah saw. Ketika
berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman
hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a:
‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya
Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan
keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulullah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang
berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulullah
saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat
do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘
Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam
sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata
dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir
yang ma’tsur dicontohkan
langsung oleh Nabi Muhammad saw.. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak
mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan
juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari
yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang
telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan
suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna
al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk
mengetahui makna al-bid’ah
- Hadits
serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan
terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian
dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran
thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian
yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulullah saw. selesai dari
sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan
beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw.
bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya
dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi
berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku
mengatakannya’. Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua
belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para
malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “.
(Shohih Muslim 1:419 ).
- Dalam Kitabut-Tauhid
Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada
suatu saat Rasulullah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya
ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat
berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah
lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang
diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulullah saw. Beliau saw.menjawab
: ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan
temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat
Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’.
Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulullah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan
kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang
dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah saw. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun
begitu Rasulullah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan
memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
- Bukhori
dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang
menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba.
Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu
surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini
dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa
anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah
Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah
Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain !
Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah
Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya
tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para
ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi
mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui
Rasulullah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam
tersebut Rasulullah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang
membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus
membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab:
‘Ya Rasulullah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu
kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath
mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah
ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulullah
saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal
ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat
atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia
menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal
Surah yang lain, mungkin Rasulullah saw. akan menyuruhnya supaya belajar
menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi
karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni
Al-Ikhlas), Rasulullah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan
niat baik dan tujuan yang sehat’.
Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan,
bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam
Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan
bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau
meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman
berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu
bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan
sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta
dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah
saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan
oleh Rasulullah saw. bila tidak
keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan
yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah SWT.
- Al-Bukhori
mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah
Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia
mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad….
Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulullah
saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang
bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulullah saw.berkata : ‘Demi
Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga
Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang
disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut
diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa
sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad,
tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah),
yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin
Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id
mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus
membaca Qul huwallahu ahad’.
- Ashabus-Sunan,
Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan
sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan
kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulullah
saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat
seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon
kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah
Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan
ahad’. Mendengar do’a itu Rasulullah saw. bersabda; ‘Demi Allah
yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya
Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a
kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng-
gembirakan dari Rasulullah saw. itu disusun atas dasar prakarsa
orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan
oleh Rasulullah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan
ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya
dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
- Hadits
dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw.
ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru
Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa
Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulullah saw. bertanya; ‘Siapakah
yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum;
Wahai Rasulullah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda
beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya
langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak
aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan
untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).
As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulullah
saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di
dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau
memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena
anjuran dari Rasulullah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai
bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah
ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a
qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal
dari hadits Rasulullah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi,
Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al
Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya untuk membaca do’a
qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang
diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil;
Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut
menshahih-kannya serta para ulama lainnya diantaranya Hafiz Abu Abdillah
Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam
Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan
bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut
diatas atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw.
malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
- Hadits
dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan
dengan jalan berdo’a kepada Allah SWT. atau dengan jalan bertabarruk
pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok
sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui
sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada
orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi
permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat
binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari
suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat
Nabi
seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang
disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi
dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui
oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku
lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan
langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa
ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi
kambing itu sebelum menghadap Rasulullah saw. Setiba dihadapan Rasulullah saw.,
mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulullah
saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat
menyembuhkan’? Rasulullah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan
sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
- Abu Daud, At-Tirmudzi dan
An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah
bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang
bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan
terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata:
‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulullah
saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan
suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi
sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas
dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh
Rasulullah saw. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulullah saw. dan beliau
memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak
diperintah atau dianjurkan oleh Rasulullah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena
semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw.
diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam
pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang
ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian
hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik-
an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan
syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut
bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita
teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat
yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulullah
saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي
أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu
sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun
demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu
yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw.
memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas
yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad
dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulullah saw.
Mungkin ada
orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang
penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang
dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang
dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya
Nabi saw.?
Memang benar,
bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi
berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada
masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing
dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk
mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau
mustahab.
Untuk
menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan
yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi
(pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal
sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw.
berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah
sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan
rusaknya kemurnian agama Allah SWT., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri
sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap
karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan
kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya
Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu
Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana
mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.?
‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun,
tidak berapa lama kemudian Allah SWT. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra
seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan
akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat
Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan
supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra.
juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu
pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca
riwayat hadits ini yang dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya juz 4
halaman 243 mengenai pembukuan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah,
baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan
suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulullah saw. masih hidup.
Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid
bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya
mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima
baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak
pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah
sesat karena berada diluar perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya. Akan tetapi
banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak
persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah,
karena Rasulullah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata
tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat
walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut.
Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita
bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulullah saw. atau zaman
dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat
mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah SWT. dan untuk mengingatkan
(dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan
dapat diterima.
Sebagaimana
hadits Rasulullah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ
وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan
tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan,
siapa yang hijrahnya (tujuannya)
karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan
Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya
orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah
apa yang ada pada sikap Rasulullah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang
dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka
mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan
mereka.
Tetapi
sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para
ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para
ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah
membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam
bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua
bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung
pada Allah SWT. atas pemahaman mereka semacam ini.
0 komentar:
Post a Comment