Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai suatu
kasus semisal, seorang lelaki (Kartono) berpacaran dengan seorang perempuan
(Mulyati). Selama berpacaran, sudah berkali-kali melakukan hubungan seksual.
Setelah diketahui Mulyati hamil 3 bulan, pihak Mulyati meminta
pertanggungjawaban kepada Kartono untuk dinikahi. Ternyata, Kartono kabur
(dalam kasus lain, wali dari perempuan yang hamil tidak rela dijodohkan dengan
lelaki yang menzinahi tersebut).
Untuk menutupi aib keluarga, Mulyati dikawinkan dengan
lelaki lain (Prasetyo) pilihan orang tuanya, dan pihak keluarga Mulyati meminta
ganti rugi materi sebesar Rp. 10.000.000,00 kepada Kartono.
Pertanyaan :
a.
Sahkah
perkawinan Mulyati dengan Prasetyo?
Jawaban:
Perkawinan
antara Mulyati dengan Prasetyo tersebut hukumnya sah, jika mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
Mulyati.
Referensi: Bughyah al-Musytarsyidin: 201 atau 235
(مسئلة
ي)
ش يَجُوْزُ نِكَاحُ الْحَامِلِ مِنَ الزِّنَى سَوَاءٌ الزَّانِي وَغَيْرَهُ وَوَطْءُهَا حِيْنَئِذٍ مَعَ الْكَرَاهَةِ .
Artinya: Hukum pernikahan wanita
hamil hasil perzinaan itu adalah boleh, baik dengan laki-laki yang menzinainya
maupun tidak, dan pada masa hamil ini, hukum melakukan hubungan seksual adalah
makruh
b.
Bagaimana status hukum anak yang dilahirkan dari pasangan Mulyati-Prasetyo
tersebut?
c.
Kemana intisab anak yang dihasilkan dari Prasetyo-Mulyati (yang
sudah hamil duluan tadi)?
d.
Jika anak yang dikandung Mulyati ternyata perempuan, ketika dewasa dan mau
menikah, siapa yang menjadi walinya?
e.
Bolehkah keluarga Mulyati meminta ganti rugi materi tersebut (Apakah bisa
dibenarkan tindakan tersebut)?
Jawaban:
Status hukum anak (intisab) yang dilahirkan dari
pasangan Mulyati dan Prasetyo, sbb:
Jika perkawinannya sah, maka: Kalau anak tersebut
lahir sebelum 6 bulan terhitung semenjak akad nikah, maka intisabnya ke
ibunya (Mulyati). Dan jika anak tersebut lahir setelah 6 bulan terhitung
semenjak akad nikah, maka anak tersebut intisabnya ke bapaknya
(Prasetyo)[1]
Referensi (Ibarot) :
بغية
المسترشدين ص : 235
(مسئلة
ي ش) نَكَحَ حَامِلاً مِنَ الزِّنَا فَوَلَدَتْ كَامِلاً كَانَ لَهُ أَرْبَعَةَ أَحْوَالٍ
Artinya:
Laki-laki yang menikah dengan wanita
hamil hasil hubungan seks bebas atau zina, lalu wanita tersebut melahirkan anak
secara sempurna, maka status yang disandangnya ada 4 kemungkinan, yaitu sebagai
berikut:
إِمَّا مُنْتَفٍ عَنِ الزَّوْجِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مِنْ غَيْرِ مُلاَعَنَةٍ وَهُوَ الْمَوْلُوْدُ لِدُوْنِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ إِمْكَانِ اْلإِجْتِمَاعِ بَعْدَ اْلعَقْدِ أَوْ لأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ آخِرِ إِمْكَانِ اْلإِجْتِمَاعِ
Artinya:
Menihilkan status kenasaban anak yang
dilahirkan dari laki-laki yang menjadi suami secara mutlak selain wanita yang
terli’an. Penihilan ini diberikan kepada anak yang dilahirkannya itu kurang
dari 6 bulan terhitung dari terjadinya hubungan seksual suami-isti pasca akad
nikah, atau lebih dari 4 tahun terhitung mulai dari akir dimungkinkannya kedua
suami istri tersebut melakukan hubungan seksual pasca akad nikah.
وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ وَثَبَتَ لَهُ اْلأَحْكَامُ إِرْثًا وَغَيْرهُ ظَاهِرًا وَيَلْزَمُهُ نَفْيُهُ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لأَكْثَرَ مِنَ السِّتَّةِ وَأَقَل مِنَ اْلأَرْبَعِ السِّنِيْنَ وَعلَم الزَّوْج أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِأَنْ لَمْ يَطَأْ بَعْدَ اْلعَقْدِ وَلَمْ تَسْتَدْخِلْ مَاءَهُ أَوْ وَلَدَتْ لِدُوْنِ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْئِهِ أَوْ لأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْهُ أَوْ لأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ إِسْتِبْرَائِهِ لَهَا وَثَمَّ قَرِيْنَة بِزِنَاهَا وَيَأْثِمُ بِتَرْكِ النَّفْىِ بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ وَوَرَدَ أَنَّ تَرْكَهُ كفر
Artinya:
Mempertemukan nasabnya dengan laki-laki
yang menjadi suami dan menetapkan segala bentuk hukum kepadanya, baik dalam
masalah waris mewaris maupun lainnya. Dan menihilkannya dari kenasaban
sebagaimana terjadinya masa kelahiran itu lebih dari 6 bulan dan paling sedikit
dari 4 tahun, dan mengetahui hal tersebut, atau dia menduga kuat bahwa hal
tersebut tidak berasal darinya, sebagaimana dia tidak melakukan hubungan seks
pasca akad pernikahan dan tidak ada usaha untuk memasukkan sperma ke dalamnya
atau anak tersebut dilahirkan kurang dari masa 6 bulan terhitung dari
terjadinya hubungan seks paska akad pernikahan atau lebih dari 4 tahun atau 6 bulan pasca ia terbebas
darinya dan di sana ditemukan adanya indikasi adanya perbuatan seks bebas, dan
ia berdosa dengan meninggalkan status kenihilan yang disandangnya, akan tetapi
ia berdosa besar dan meninggalkan status kenihilannya menjadikan ia berstatus
kufur
وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ ظَاهِرًا أَيْضًا لَكِنْ لاَ يَلْزَمُهُ نَفْيُهُ إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ بِلاَ غَلَبَةٍ بِأَنْ اِسْتَبَرَأَهَا بَعْدَ اْلوَطْءِ وَوَلَدَتْ بِهِ لأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَهُ وَثَمَّ رَيْبَةٌ بِزِنَاهَا إِذِ اْلإِسْتِبْرَاءُ أَمَارَةٌ ظَاهِرَةٌ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُ لَكِنْ يُنْدَبُ تَرْكُهُ لأَنَّ الْحَامِلَ قَدْ تَحِيْضُ
Artinya:
Secara lahiriyah bernasab dengannya,
tetapi menihilkannya tidak menjadi hal yang lazim. Hal ini terjadi ketika ia
menduga bahwa anak tersebut tidak berasal darinya sebagaimana terlepasnya
wanita pasca melakukan hubungan seks dan wanita tersebut melahirkan setelah
mengalami masa lebih dari 6 bulan pasca akad pernikahan dan di sana ditemukan
adanya keraguan sebab hubungan seks bebasnya, jika bebasnya tersebut menjadi
indikasi yang kuat atau tidak adanya sperma berasal darinya tetapi ia
disunahkan untuk meninggalkan dugaan tersebut lantaran kehamilan sudah menjadi
sasaran utamanya.
وَإِمَّا لاَحِقٌ بِهِ وَيَحْرُمُ نَفْيُهُ بَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ وَوَرَدَ أَنَّهُ كُفْرٌ إِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ مِنْهُ أَوِ اسْتَوَى اْلأَمْرَانَ بِأَنْ وَلَدَتْهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَلأَكْثَر إِلَى اَرْبَعِ سِنِيْنَ مِنْ وَطْئِهِ وَلَمْ يَسْتَبْرَئْهَا بَعْدَهُ أَوْ إِسْتِبْرَئهَا وَوَلَدَتْ بَعْدَهُ بِأَقَلِّ مِنَ السِّتَّةِ بَلْ يَلْحَقُهُ بِحُكْمِ اْلفِرَاشِ كَمَا لَوْ عَلِمَ زِنَاهَا وَاحْتَمَلَ كَوْنُ الْحَمْلِ مِنْهُ أَوْ مِنَ الزِّنَا وَلاَ عِبْرَةَ بِرِيْبَةٍ يَجِدُهَا مِنْ غَيْرِ قَرِيْنَةٍ
Artinya:
Mempertemukan nasabnya dengan laki-laki
yang menjadi suami dan haram menihilkannya, tetapi hal ini termasuk dosa besar
dan berlaku baginya bahwa ia berstatus kufur selama dugaannya bisa mengalahkan
bahwa ia tidak berasal darinya atau adanya kesamaan dua dugaan, sebagaimana ia
lahir lantaran sudah lebih dari 6 bulan dan melebihi dari masa 4 tahun
terhitung dari terjadinya hubungan seks dan setelah itu dia tidak terbebas
darinya atau terbebas darinya dan setelah itu lahir karena kurang dari 6 bulan
dan ia menasabkannya dengan suami sebagaimana kasus diketahuinya ia berasal
dari hasil hubungan seks bebas dan kemungkinan terjadinya kehamilan itu berasal
darinya atau dari perzinaan, sedang menemukannya dengan adanya keraguraguan
yang tanpa ada pendukung kuat tidak menjadi pertimbangan hukum.
فَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَوْلُوْدَ عَلَى فِرَاشِ الزَّوْجِ لاَحِقٌ بِهِ مُطْلَقًا إِنْ أَمْكَنَ كَوْنُهُ مِنْهُ وَلاَ يُنْتَفَى عَنْهُ إِلاَّ بِلِعَانٍ وَالنَّفْىُ تَارَةً يَجِبُ وَتَارَةً يَحْرُمُ وَتاَرَةً يَجُوْزُ وَلاَ عِبْرَةَ بِإِقْرَارِ الْمَرْأَةِ بِالزِّنَا وَإِنْ صَدَّقَهَا الزَّوْجُ وَظَهَرَتْ أَمَارَتُهُ اهـ
Artinya: Pada dasarnya, anak yang dilahirkan itu
hubungan kenasabannya selalu mengikuti pada laki-laki pemilik sperma secara
mutlak, selama dimungkinkan terjadinya dan tidak boleh dinihilkan kecuali sebab
li’an, dan menihilkannya itu terkadang berstatus hukum wajib, terkadang haram
dan terkadang pula menjadi boleh. Dan menetapkan penihilan status kenasaban
seorang wanita yang dihasilkan dari hubungan seks bebas dengan laki-laki yang
menikahi ibunya itu tidak dijadikan pertimbangan utama selama laki-laki yang
menikahi ibunya itu membenarkan terjadinya pernikahan dan adanya publikasi
pernikahan jelas terlihat ada dan terjadi.

0 komentar:
Post a Comment